THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Monday, August 18, 2008

Komentar atas artikel “Why IT Doesn’t Matter Anymore”

Artikel tersebut membahas mengenai perkembangan teknologi yang telah merubah perilaku manajemen perusahaan serta perkembangan strategi manajemen dalam menghadapi perkembangan teknologi informasi (TI). Manajemen semula beranggapan bahwa komputer hanya sekedar mesin ketik dan kalkulator dalam bentuk lebih mewah. Saat ini manajemen telah memandang komputer dan teknologi informasi sebagai alat untuk mencapai keunggulan kompetitif. Pandangan tersebut merubah perilaku manajemen dalam menghadapi perkembangan teknologi. Manajemen menjadi lebih agresif dalam memanfaatkan teknologi untuk memperoleh peluang keunggulan kompetitif. Perubahan dunia usaha yang paling utama adalah lahirnya posisi kepala bagian informasi (chief information officer) dalam bentuk bisnis saat ini yang menandakan perubahan pandangan manajemen atas peran TI. Seiring dengan perubahan perilaku manajemen, perkembangan TI telah mendorong TI menjadi komoditas perdagangan. Para vendor memanfaatkan hal ini dengan merekayasa pengemasan komoditas TI sehingga menarik manajemen untuk membeli komputer dan perangkat TI lainnya meskipun perusahaan belum tentu membutuhkan. Perilaku vendor tersebut membutuhkan kebijakan manajemen dalam mengatur pembeljaan TI mereka. Strategi devensiv dalam pembelanjaan TI sebagaimana ditawarkan dalam artikel ini merupakan langkah yang bijak. Perusahaan dapat menghemat biaya percobaan perangkat baru yang akan menjadi beban bagi perusahaan pesaingnya yang menerapkan strategi ofensiv dalam pembelanjaan TI nya.

Teknologi Informasi

Pada tahun 1968, seorang insinyur muda Intel, Ted Hoff, menemukan cara meletakkan sirkuit yang digunakan dalam prosesor komputer ke dalam sepotong kecil silikon. Penemuan microprosessornya ini mendorong serangkaian penemuan teknologi -komputer dekstop, jaringan lokal dan wide area, perangkat lunak perusahaan, dan internet- yang telah merubah dunia usaha. Saat ini, tidak seorangpun membantah bahwa TI telah menjadi tulang punggung perdagangan. Hal ini menjadi dasar operasi masing-masing perusahaan, merangkai pipa supply chain, dan meningkatkan link usaha ke pelangan yang dilayaninya. Perubahan dolar dan euro yang tajam tak akan berarti tanpa bantuan sistem komputer.

Bersamaan dengan meluasnya kekuatan dan kehadiran IT, perusahaan melihat hal ini sebagai sumber daya yang penting bagi kesuksesannya, fakta ini tercermin dalam kebiasaan belanja perusahaan. Pada tahun, 1965, berdasarkan studi Departemen Analisa Ekonomi Biro Perdagangan Amerika, kurang dari 5% pembelanjaan modal perusahaan di Amerika dibelanjakan dalam tekhnologi informasi. Setelah pengenalan PC di tahun 1980an, persentase belanja meningkat menjadi 15%. Pada tahun 1990an, pembelanjaan tersebut mencapai lebih dari 30%, dan pada akhir dekade tersebut pembelanjaan tersebut hampir mendekati 50%. Bahkan dengan sluggishness dalam pembelanjaan teknologi, bisnis di seluruh dunia tetap melakukan pengeluaran lebih dari $ 2 triliun per tahun untuk TI.

Tetapi venerasi TI berlanjut semakin dalam dari pada dollar. Hal ini dibuktikan dengan pergeseran perilaku top manajemen. Dua belas tahun lalu, sebagian besar eksekutif memandang rendah komputer sebagai alat bantu kaum proletar -mesin ketik dan kalkulator yang mahal- yang paling cocok digunakan oleh pegawai rendahan seperti sekretaris, analis dan teknisi. Dahulu sangat jarang seorang eksekutif bersedia mengijinkan jari-jarinya menyentuh keyboard, hanya sedikit teknologi informasi digunakan dalam pemikiran strategisnya. Saat ini, hal itu telah berubah total. Para Eksekutif puncak saat ini secara rutin membicarakan mengenai nilai strategis teknologi informasi, berkaitan mengenai bagaimana mereka dapat menggunakan TI untuk memperoleh keuntungan bersaing, berbicara mengenai digitalisasi model bisnis mereka. Sebagian besar telah menunjuk seoarang kepala bagian informasi (chief information officers) dalam tim senior manajemennya, dan sebagian besar juga telah mempekerjakan firma konsultasi strategi untuk menyediakan gagasan-gagasan segar berkenaan dengan bagaimana cara untuk meleverage investasi TI untuk diferensiasi dan keuntungan.

Dibalik perubahan dalam pemikiran tersebut terdapat asumsi sederhana, yaitu: potensi TI dan ubiguitas yang telah meningkat, begitu juga dengan nilai strategisnya. Hal tersebut merupakan asumsi yang masuk akal, bahkan intuitiv sekalipun. Tetapi hal tersebut telah disalahartikan. Apa yang menjadikan suatu sumber daya bernilai strategis –apa yang menjadikan hal tersebut berkapasitas untuk dijadikan sebagai dasar keuntungan kompetisi yang berlanjut- bukan lah ubiguitasnya tetapi adalah kelangkaannya. Anda hanya akan mendapatkan keuntungan atas pesaing anda dengan mempunyai atau melakukan sesuatu yang pesaing anda tidak miliki atau lakukan. Pada saat ini, fungsi dasar TI –penyimpanan data, pemrosesan data, dan pengiriman data- telah tersedia dan affordable bagi semua orang.

Kekuatan dan presence utamanya telah dimulai dengan merubahnya dari sumber daya strategis potensial menjadi faktor komoditas produksi. Meretia telah menjadi pengorbanan dalam melakukan bisnis yang harus dibayar oleh semua pihak tetapi tidak memberi jarak bagi siapapun.

TI dapat dipandang sebagai serial teknologi mutakhir yang diadopsi secara luas yang telah membentuk kembali industri dalam kurun waktu dua abad terakhir –berawal dari mesin uap dan rail kereta api ke telegraph dan telepon hingga generator listrik dan mesin konstribusi internal. Secara ringkas, dengannya telah dibangun infrastruktur perdagangan, semua teknologi ini telah membuka kesempatan untuk masa depan- menunjukkan perusahaan untuk memperoleh manfaat nyata. Tetapi sejalan dengan peningkatan ketersediaan dan penurunan biayanya –seiring meretia menjadi ubiguitas- meretia menjadi komoditas input. Berawal dari tujuan strategis, meretia menjadi maya; meretia tidak lagi berarti. Hal ini lah yang sebenarnya terjadi pada TI saat ini, dan implikasi bagi manajemen TI perusahaan profound
.